Kawin Kontrak dalam Perspektif Islam: Hukum dan Dalil Pendukungnya
Nawacita – Tidak seperti pada umumnya, kawin kontrak dilaksanakan berdasarkan suatu perjanjian antara kedua mempelai. Pernikahan ini juga hanya dilakukan dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
Karena hanya bersifat sementara, sebagian orang turut meragukan kebolehan kawin kontrak dalam Islam, apalagi Islam mengajarkan bahwa pernikahan merupakan ibadah seumur hidup bagi umat Muslim.

Kawin Kontrak dari Perspektif Islam
Dalam agama Islam, kawin kontrak dikenal dengan istilah nikah mut’ah. Mengutip dari buku Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, mut’ah berarti bersenang-senang, karena ikatan ini dimaksudkan sekadar untuk memuaskan nafsu seksual laki-laki yang melakukannya.
Nikah mut’ah merupakan pernikahan yang bersifat sementara dan dilakukan hanya dalam jangka waktu tertentu, seperti seminggu sebulan, atau setahun.
Batas waktu ini ditentukan sesuai dengan kebutuhan pihak laki-laki tanpa memperhitungkan kepentingan dari pihak perempuan.
Hukum Kawin Kontrak dalam Islam dan Dalilnya
Dalam buku Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, dijelaskan bahwa seluruh imam mazhab sepakat bahwa kawin kontrak atau nikah mut’ah hukumnya haram.
Sebab, hal ini tidak sesuai dengan pernikahan yang dikehendaki Al-Qur’an, yaitu pernikahan yang kekal serta tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Rasulullah SAW Pernah Mengizinkannya, Namun Kemudian Melarang Nikah Mut’ah
Diketahui, Rasulullah SAW pernah mengizinkan umatnya untuk melaksanakan pernikahan mut’ah, namun beliau kemudian melarangnya dan tidak pernah mengizinkannya lagi.
Hal ini merujuk pada salah satu hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai manusia! Saya pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah)
Baca Juga: Marak Praktik Kawin Kontrak, Puan Minta Pemerintah Jamin Perlindungan Perempuan
Golongan Syiah Imamiah Membolehkan Nikah Mut’ah dengan Syarat
Sementara itu, golongan Syiah Imamiah membolehkan pernikahan mut’ah asal telah memenuhi sejumlah persyaratan, yaitu:
- Harus ada ijab kabul dengan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka, atau matta ‘tuka (saya nikahkan kamu sementara).
- Calon istri harus beragama Islam atau ahlulkitab yang baik.
- Jumlah maskawin harus disebutkan berdasarkan kesepakatan, atas dasar suka sama suka.
- Batas waktu pernikahan harus jelas dan diputuskan berdasarkan waktu yang telah disetujui.
Selain itu, golongan Syiah Imamiah juga berpendapat bahwa anak yang lahir dari pernikahan mut’ah merupakan anak yang sah, ia berhak mewarisi harta dari ayah maupun ibunya.
Dalam pernikahan mut’ah, menurut golongan ini, tidak ada talak dan lian, suami istri juga tidak bisa saling mewarisi hartanya.
Sementara untuk masa idahnya, diketahui berdurasi dua kali haid dan 45 hari bagi yang sedang tidak haid. inlh


