Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Indonesia Terjaga di Tengah Ketidakpastian Global, Menurut Rapat OJK
Jakarta, Nawacita 5 Agustus 2024 — Rapat Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 31 Juli 2024 menyimpulkan bahwa sektor jasa keuangan Indonesia tetap stabil, didukung oleh kekuatan permodalan dan likuiditas yang memadai, meskipun dihadapkan pada ketidakpastian global yang meningkat akibat perang dagang, gejolak geopolitik, dan fluktuasi harga komoditas internasional.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menjelaskan, “Kinerja perekonomian domestik tetap positif dan stabil. Ini tercermin dari tingkat inflasi yang terkendali dan surplus neraca perdagangan yang berlanjut. Namun, tren penurunan harga komoditas global perlu diwaspadai karena dapat mempengaruhi kinerja ekspor.”
Secara global, ekonomi mengalami pelemahan dengan inflasi yang terjaga moderat di banyak negara. Di Amerika Serikat, penurunan inflasi dan pelemahan pasar tenaga kerja mengarah pada ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) mungkin akan memangkas suku bunga kebijakan sebanyak 2-3 kali selama tahun 2024.
Di Eropa, meskipun perekonomian menunjukkan penurunan, Bank Sentral Eropa (ECB) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga pada pertemuan bulan Juli 2024. Namun, pasar memproyeksikan ECB akan menurunkan suku bunga sebanyak dua kali lagi sebelum akhir tahun.
Baca Juga : Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Indonesia Terjaga di Tengah Ketidakpastian Global, Menurut Rapat OJK
Di Tiongkok, pertumbuhan ekonomi untuk triwulan kedua 2024 melambat akibat permintaan domestik yang melemah, yang juga tercermin dari penurunan inflasi dan harga properti. Pemerintah dan bank sentral Tiongkok telah mengeluarkan berbagai stimulus fiskal dan moneter untuk merangsang perekonomian.
Tensi geopolitik global meningkat, dengan dinamika politik di Amerika Serikat menjelang Pemilihan Presiden November 2024 dan perkembangan di Timur Tengah serta Ukraina. Selain itu, ketegangan perang dagang yang meningkat, khususnya di sektor teknologi dan semi-konduktor, turut mempengaruhi pasar.
Meskipun demikian, tekanan di pasar keuangan global menunjukkan penurunan. Ekspektasi pemotongan suku bunga oleh The Fed telah mengakibatkan penurunan yield USD dan indeks dolar, yang mendorong aliran modal masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini berdampak positif pada pasar obligasi dan nilai tukar di pasar keuangan emerging market.

Di pasar saham Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan penguatan sebesar 2,72% pada 31 Juli 2024 ke level 7.255,76, meskipun secara tahun kalender (ytd) tercatat penurunan 0,23%. Kapitalisasi pasar meningkat menjadi Rp12.338 triliun, naik 1,83% mtd dan 5,76% ytd. Non-resident mencatatkan net buy sebesar Rp6,68 triliun mtd.
Baca Juga : Sejak Awal 2024, OJK Cabut Izin Usaha 14 Bank Secara Bertahap
Di pasar obligasi, Indeks Corporate Bond Index (ICBI) meningkat 1,09% mtd ke level 384,57, dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) rata-rata turun 7,34 basis poin (bps) mtd. Investor non-resident mencatatkan net buy Rp4,90 triliun mtd. Sementara itu, obligasi korporasi menunjukkan net sell Rp0,58 triliun mtd.
Dalam industri pengelolaan investasi, nilai Asset Under Management (AUM) tercatat sebesar Rp830,25 triliun, naik 0,51% mtd. Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana mencapai Rp491,61 triliun, naik 1,06% mtd.
Penghimpunan dana di pasar modal menunjukkan tren positif dengan nilai Penawaran Umum mencapai Rp129,90 triliun, termasuk fundraising dari 28 emiten baru sebesar Rp4,39 triliun. Terdapat 111 pipeline Penawaran Umum dengan nilai indikatif Rp33,04 triliun. Untuk Securities Crowdfunding (SCF), terdapat 17 penyelenggara yang telah mendapatkan izin OJK dengan total dana yang dihimpun mencapai Rp1,15 triliun.
Sementara itu, Bursa Karbon yang diluncurkan pada 26 September 2023 hingga 31 Juli 2024 mencatatkan total volume transaksi sebesar 613.541 tCO2e dengan nilai akumulasi Rp37,04 miliar. Transaksi terbagi antara Pasar Reguler (26,73%), Pasar Negosiasi (23,19%), Pasar Lelang (49,89%), dan marketplace (0,18%).
“Bursa Karbon memiliki potensi besar ke depan, terutama dengan banyaknya pendaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dan potensi unit karbon yang dapat ditawarkan,” tutup Mahendra.


