Asupan Gizi di Pedesaan harus di tingkatkan dukung Pola asuh Balita
Surabaya | Nawacita – Jawa Timur masih menduduki peringkat tertinggi kasus Stunting atau kelambatan pertumbuhan pada anak-anak. Penyebabnya sangat jelas, adalah akibat kekurangan gizi kronis dan pola asuh baloya yang sampai sekarang belum diseriusi pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Wara Sundari Renny Pramana, Ketua Komisi E DPRD Jatim mengatakan, tingginya angka stunting di Jawa Timur menjadi perhatian DPRD Jawa Timur untuk mengatasinya. Pasalnya, dari data terakhir di bulan Juni 2022 diketahui bahwa prevalensinya masih cukup tinggi, yakni 23,5 persen.
“Faktor perekonomian dan perawatan bayi sejak dalam kandungan tetap jadi penyebab tingginya angka tersebut,” ungkap perempuan yang akrab disapa Bunda Renny ini, Senin 22/8/2022.
Politisi perempuan dari PDI-P ini menyebutkan, faktor kemiskinan sebenarnya bukan jadi faktor utama. “Tapi ada juga faktor salah pola asuhnya. Itu menjadi pekerjaan rumah kita untuk sosialisasi pencegahan stunting,” kata Ketua DPRD Kota Kediri Periode 2009-2019 ini.
Bunda Renny meyarankan, faktor salah pola asuh bisa meliputi pemenuhan nutrisi yang tidak diberikan pada bayi secara lengkap. Khususnya, pada 1.000 hari pertama kehidupan juga menjadi permasalahan tingginya stunting di Jawa Timur.

Dikatakan Bunda Renny, Untuk menekan tingginya stunting di Jawa Timur, adalah dengan melalui program Pemberian makanan tambahan (PMT) untuk meningkatkan status gizi anak. “Peningkatan secara maksimal yang harus dilakukan Pemprov dalam meningkatkan status gizi pada anak khususnya sampai tingkat desa,” jelasnya.
Dengan adanya peningkatan status pemberian gizi pada anak khususnya sampai tingkat desa, kata Wara Sundari Renny Pramana, diharapkan angka prevalensi di Jawa Timur bisa turun. “Prevalensi stunting tahun 2022 harus turun setidaknya tiga persen melalui konvergensi program intervensi spesifik dan sensitif yang tepat sasaran, serta didukung data sasaran yang lebih baik dan terintegrasi,” tandasnya.
Stunting di Jawa Timur pada tahun 2022 angka prevalensinya masih cukup tinggi, yakni 23,5 persen. Angka tertinggi terdapat di Kabupaten Bangkalan sebesar 38,9 persen, sementara terendah di Kabupaten Mojokerto 6,9 persen dari keseluruhan di Jatim. bdo


