Jakarta, Nawacita – Dewasa ini marak sekali kita mendengar kabar mengenai kasus tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan mendengar hal tersebut, kita mengetahui bahwa segala wujud pemerintahan itu sangat dekat sekali dan riskan terhadap korupsi. Berbicara tentang korupsi, tidak terlepas dari yang namanya integritas. Integritas adalah wujud dari kehidupan yang berdasarkan prinsip serta menjadi turunan dari rendah hati dan juga keberanian (Covey, 1989).
Seseorang yang memiliki integritas umumnya sadar akan adanya hukum atau prinsip. Ketika hidup kita ingin berjalan berdampingan dengan prinsip ini, kita membutuhkan suatu sifat yang namanya keberanian, karena masih banyak norma, etika, dan nilai sosial di lingkungan kita sendiri yang memang terkadang jauh dari kata taat pada prinsip. Hal ini berkaitan dengan apa yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya (PT AJS) yang juga harus menanamkan prinsip dari integritas itu sendiri. Namun, saat penerapannya PT AJS terbukti tidak menjalankan integritasnya dalam memberikan informasi mengenai portofolio investasi dan cash flowperusahaan. Kondisi ini sering kita temui pada perusahaan-perusahaan asuransi dengan ‘iming-iming’ menjamin kesehatan, keamanan, pendidikan bagi penerima asuransi tersebut.
Salah satu aspek dalam good corporate governance yaitu transparansi, sudah terpenuhi oleh PT AJS, di mana PT AJS memberikan akses kepada publik atau masyarakat untuk dapat mengetahui cash flow dari perusahaan. Akan tetapi, PT AJS telah mengatur angka pengeluaran dan pemasukan untuk memenuhi kepuasan nasabah (manipulasi laporan keuangan), terlebih tindakan window dressing yang tidak terukur. Hal ini selalu terjadi pada akhir tahun, biasanya perusahaan akan mempercantik arus kas perusahaan untuk mengundang investor agar berinvestasi di perusahaan tersebut. Sedangkan kewajiban PT AJS kepada nasabah untuk memberikan imbalan hasil (return) tetap menjadi beban Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam kegiatan bisnis, seringkali kita menemukan wilayah abu-abu yang tidak tunduk pada peraturan hukum. Hill dan Jones (2008) berpendapat bahwa etika bisnis memberikan ajaran kepada setiap pemimpin perusahaan untuk membedakan yang benar dan yang salah ketika mempertimbangkan keputusan terkait permasalahan etika yang kompleks. Bagi pengusaha dalam menjalankan bisnis harus sesuai dengan etika bisnis yang memastikan bahwa bisnis dapat beroperasi dan memulai secara adil sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang telah disepakati. Pebisnis perlu memiliki kejujuran untuk bisa meningkatkan kepercayaan konsumen, karena kepercayaan konsumen sangat penting dalam menjalankan bisnis modern. Dengan demikian, pengusaha didorong untuk memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada konsumen.
Etika bisnis ini juga dapat berguna untuk mempraktikkan kebijaksanaan moral dalam setiap situasi yang dipandu oleh nilai-nilai dan etika. Keunggulan dalam penerapan etika bisnis ini akan menciptakan rasa tujuan bersama antara perusahaan dan pelanggan dalam mengejar tujuan bersama. Keputusan PT AJS meluncurkan produk “JS Saving Plan” yang pada tahun 2013 sebagai bentuk perlindungan kepada nasabah berupa simpanan jangka panjang. Program tersebut dilakukan dengan membayar sejumlah uang dari nasabah kepada PT AJS, kemudian pihak manajemen investasi akan menggunakan dana nasabah untuk membeli saham atau reksadana blue chips.
Namun, kenyataannya PT AJS menempatkan dana nasabah dalam saham junk stocks, saham dengan kriteria ini memiliki ketidak stabilan yang tinggi. Dengan demikian PT AJS mengalami kerugian dan seluruh nasabah tidak dapat mengambil dana kembali. Program ini dinilai menyalahi UU Nomor 40 tahun 2014 Tentang Perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 27 Tahun 2018 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, karena menurut Kodrat Muis selaku konsultan perbankan, manajemen, dan investasi yang menjadi saksi ahli dalam persidangan mengatakan bahwa istilah saving plan tidak diketahui dalam dunia asuransi, karena produk ini memberi imbal hasil pasti. Tidak hanya itu dalam audit BPK disebutkan, kerugian negara dari kerja sama investasi ini sekitar Rp 12 triliun lebih.
Sebagai manajer investasi, seharusnya dapat mengambil keputusan secara objektif untuk menghasilkan dana bagi nasabah dan bagi operasional perusahaan. Sebaliknya, para manajer tersebut menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki untuk mengambil keputusan yang tidak sejalan dengan tugas jabatannya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat manipulasi portofolio investasi dari manajemen PT Asuransi Jiwasraya yang tidak menggambarkan integritas sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance.
Berdasarkan paham utilitarianisme, bahwa PT Asuransi Jiwasraya tidak dapat melakukan etika bisnis dengan baik yang dikarenakan memberikan dampak kerugian kepada nasabah. Minim adanya pengawasan dari pemerintah terutama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan audit keuangan PT Asuransi Jiwasraya, sehingga berdampak kepada seluruh aspek baik masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Kasus korupsi ini memberikan pengaruh kepada penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap seluruh produk asuransi yang hanya memberikan manfaat semu yang dikarenakan kesalahan melakukan investasi pada saham atau reksadana junk stocksyang memiliki volatilitas tinggi.
Sumber :
Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Jakarta: Kanisius
Covey, S R. (1989). The Seven Habits Of Highly Effective People. USA: by Flyheart
Hill CWL, Jones TM. (2008). Essentials of Strategic Management. Cengage Learning, 2008
Byars SM, Stanberry K. (2018). Business Ethics. Texas: Rice University. Openstax, 2018.
Penulis :
1.Ammar Fayat, 2.Faishal Khairy Sentosa, 3.Joeheru Dwitirta, 4.Louis Bisma Wicaksana Praharsa
NIM : 2006606113, 2006605994, 2006605344, 2006605224
Fakultas : Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia


