Refleksi Awal Tahun 2025, Kembalikan NU menjadi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama Ruhan wa Jisman

0
132

Oleh : Saiful Rijal Ajib (Santri NU Kultural)

Nawacita – Ada perkembangan baru nan unik di pertiga akhir tahun 2024 yang terjadi di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). NU memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan alam kehidupan organisasi pada umumnya. Andai pohon, NU memiliki batang menjulang, dahan kokoh dan rindang, ranting menjuntai ke segala arah, rumpun dedaunan dan buah yang khas, baik warna maupun rasa. Akar-akar pohon NU menyerap air dan nutrisi dari sumber kehidupan Pesantren, Masjid/Musholla, Kiai-Santri, keIndonesiaan, dan peradaban nusantara.

Kehidupan NU adalah pesantren itu sendiri, sumber kebangsaan NU adalah Indonesia itu sendiri, dan peradaban NU adalah kenusantaraan itu sendiri. Ya. Air dan nutrisi yang diserap pohon NU adalah Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah; baik aqidah, sistem berpikir, orientasi, maupun pilihan kebijakan dan teknik pelaksanaannya. Semua serapan itu untuk menyuplai kemashlahatan dan kedaulatan beragama, berbangsa dan keluhuran bermasyarakat. Dengan begitu, NU memiliki jati diri dan kepribadian yang khas menyertai jati diri dan kepribadian Indonesia.

Salah satu bentuk jati diri dan kepribadian NU itu, dikonsepsikan secara baik dalam naskah “Khittah Nahdlatul Ulama”. Khitthah NU merupakan landasan dan patokan-patokan dasar yang secara prinsip memerintahkan jam’iyyah agar ; 1) jangan menjadi liberal, 2) jangan menjadi ekstrim, dan 3) tetaplah dijalur Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA). Dan dari ketiga perintah tersebut, ada azas berjam’iyyah yang harus dipatuhi, ada pedoman berjam’iyyah yang wajib diikuti, ada operasional berjam’iyyah yang patut dijalankan, ada strategi/cara berjam’iyyah yang mesti dilakukan, dan ada terapan teladan bernegara bangsa yang wajib diupayakan secara konsisten.

Konsepsi “Khittah NU” itu ingin menegaskan bentuk dan posisi jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dan menyatu dalam Civil Society (masyarakat sipil) yang berjiwa agama. Membangun masyarakat dan jiwa bermasyarakat dengan landasan persatuan dan kesatuan menyertai pemerintah dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara bangsa. Sebagaimana dalam ‘Khotimah’nya, perwujudan “Khittah NU” secara ideal, terutama tergantung kepada semangat pemimpin warga Nahdlatul Ulama dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama hanya akan memperoleh dan mencapai cita-citanya jika pemimpin dan warganya benar-benar meresapi dan mengamalkan Khitthah Nahdlatul Ulama, ini. Ya. Bergantung pada pemimpin dan kepemimpinan jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Dalam konteks itu, para alim ulama dan aktivis NU yang terbiasa hidup ditengah dan menyerap batin Nahdliyyin, bertemu pada 18 Agustus 2024, dalam Musyawarah Besar (Mubes) di Ndalem Kasepuhan Syaikhona Kholil, Bangkalan, Madura. Mereka bertemu karena terdesak situasi untuk mengurai solusi dari masalah-masalah jam’iyyah sejak kepemimpinan PBNU masa khidmat 2022-2027. Mereka bertemu atas dorongan akumulasi keresahan dan ketegangan NU struktural dan kultural hampir merata di seluruh Indonesia.

Ragam masalah yang dirasakan Nahdliyyin arus bawah dijabarkan dari berbagai perspektif. Mubes Alim Ulama dan Aktivis NU menyepakati membentuk Presidium Penyelamat Organisasi dan Muktamar Luar Biasa (PO & MLB) NU, serta melengkapinya dengan “Amanat Bangkalan” untuk dijalankan dan “Risalah Amanat Bangkalan” untuk dipertajam dan diperluas verifikasi dan validasi fakta serta datanya.

Presidium PO & MLB adalah para Nahdliyyin yang memiliki harkat, martabat dan kedaulatan sikap untuk berpikir kritis-reflektif untuk pemajuan dan kedaulatan Jam’iyyah, saling mengingatkan dan menasehati terhadap pemimpin/penguasa yang mengatur kepentingan dan tujuan bersama, serta menegakkan nilai-nilai luhur Aswaja AnNahdliyyah, yakni; kebenaran, kejujuran dan keadilan. Bahkan diantara Presidium PO & MLB NU adalah Cucu-Cicit para Pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Gerakan MLB NU dimulai sejak September 2024; mulai dari silaturrohim, edukasi, sosialisasi, konsolidasi, hingga dilaksanakan rangkaian Pra MLB NU, bulan Desember 2024, di Surabaya. Bagi Presidium, Gerakan MLB didasarkan pada argumentasi formal dan material yang cukup, ditengah asumsi umum “belum ada sejarah MLB atau KLB” terjadi di lingkungan jam’iyyah NU. Argumentasi formal MLB diatur dalam AD NU, pasal 22, dan ART NU, pasal 74. Sedangkan argumentasi material berdasar 6 parameter amanat dan tanggung jawab mandataris terhadap keputusan Muktamar ke-34 NU di Lampung, tahun 2021, antara lain Qonun Asasi, AD-ART, Khittah NU, Visi-Misi dan Tujuan Program, Arah Kebijakan NU 100 Tahun ke-2, dan Arah Program 2021-2026 / 2022-2027.

Lebih dari itu, Presidium menilai PBNU di bawah kepemimpinan Rais Aam dan Ketua Umum masa khidmat 2022-2027, bahwa kinerja PBNU berada di luar garis yang ditentukan, bahkan cenderung melenceng yang dikhawatirkan menyebabkan NU kehilangan Jiwa-Ruh dan Jatidiri-Kepribadiannya. Tipe kepemimpinan PBNU bisa membunuh akar-akar keluhuran nilai, budaya, dan kearifan berbasis Islam Ahlussunnah wal Jam’ah dan berbasis Pesantren serta merusak semua lini kesejarahan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di dunia yang didirikan oleh Ulama-Auliya NUsantara.

Bahkan, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai organisasinya para Ulama Pondok Pesantren tidak hanya telah bergeser, tapi sudah berubah; bertransformasi menjadi organisasi baru dengan nama lama. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dijalankan atas dasar sistem berpikir Ketua Umum PBNU yang dijabarkan dalam bukunya “Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, Tajdid Jam’iyyah untuk Khidmat Millenial”. Ya. Pembaharuan (tajdid) jam’iyyah yang didasarkan atas adanya tantangan baru, dan memobilisasi generasi Millenial NU untuk menjalankan jam’iyyah demi menghadapi tantangan, dimaksud. Ketua Umum PBNU memandang pola dan konstruksi berjam’iyyah sebelum kepemimpinannya, dinilai usang-kadaluarsa; baik konteks lokal, nasional maupun global.

Bagi Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, “Perjuangan Besar, Tajdid Jam’iyyah, Khidmat Millenial, visi Merawat Jagat Membangun Peradaban, manuver sosial-politik” dan tipe kepemimpinan yang dijalankan merupakan satu tarikan nafas dari perubahan yang sedang dijalankannya. Ini adalah pekerjaan yang sedang dijalankan saat ‘mengajukan diri untuk bekerja (melamar) sebagai Ketua Umum PBNU’. Diksi “saya melamar pekerjaan, saya bekerja”, yang diulang-ulang di berbagai pernyataanya; menegaskan bahwa dia berkehendak Memperbaharui (tajdid) atau melakukan transformasi NU melalui pekerjaan sebagai Ketua Umum.

Menyadari agenda besarnya, jargon ‘konsolidasi-konsolidasi’ menjadi tema pekerjaannya, termasuk mengkonsolidasi kepemimpinan untuk masa khidmat selanjutnya, karena agenda besar Ketua Umum PBNU tidak bisa dicapai dalam satu atau dua periode. Dan dalam konteks ini, Ketua Umum PBNU, Gus Yahya memandang Presidium dan Penggerak MLB NU adalah Alim Ulama dan Aktivis NU yang tersingkir dari arus ‘konsolidasi’, tidak memiliki pekerjaan didalam NU, para pengangguran hingga ingin merebut dan memanfaatkan NU untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Dari sini bisa disadari dawuh salah satu sesepuh NU Banten, menyatakan ; “ada NU, ada Nahdlatul Ulama. Nah, itu beda sekali. –usahakan- Supaya tetap menjadi Nahdlatul Ulama, jangan NU. Kalau NU itu ‘Numpang Urip’; bebannya berat”. Beliau memperjelas dawuhnya dengan analogi; ada perbedayaan antara ayam kampung dan ayam negeri. Bilapun dimasak, keduanya berasa nikmat, namun ayam kampung tetap memiliki kandungan vitamin lebih menyehatkan. Karenanya, beliau berpesan; “kembalikan NU sebagai Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, milik para Ulama, khususnya Hadratussyeikh KH. Muhammad Hasyim Bin Asy’ari”.

Baca Juga : Pra Muktamar NU Sepakat Pergantian Ketua Umum, Rais Aam PBNU Lewat MLB

Senada dengan Beliau dari Banten, beberapa masyayikh sepuh di Jawa Timur menceritakan tentang kondisi Nahdliyyin di arus bawah. Pada periode sekarang, banyak sekali nahdliyyin tidak merasa bangga sebagai warga NU, dibanding sebelumnya. Kondisi ini berpengaruh pada menurunnya aktivitas berjam’iyyah. Gegap gempita dengan ragam inisiasi kreatif yang digerakkan di tingkat komunitas dan kelompok, tidak muncul seperti sebelumnya. Semangat kemandirian yang sebelumnya menjadi ‘icon’ gerakan, tidak lagi membahana. Meredup dan melemah.

Praktek tema ‘konsolidasi’ ala PBNU dengan sifat mengikat dan menyatukan, mengingkatkan kita pada simbol jam’iyyah NU, yakni “tali tambang melingkari bumi” yang kokoh diikat longgar. Jangan sampai berubah menjadi ‘besi kaku’ yang membelenggu dan menyakiti. Dan, “Bumi” dalam simbol NU tidak lagi nampak dengan keragaman pola hidup, kearifan lokal, konteks budaya, dan keluhuran tradisi masyarakatnya, tapi –saat ini- “bumi berjam’iyyah NU” ditampilkan hanya satu ragam yang terstandar dan tersertifikasi. Kondisi yang demikian menimbulkan banyak tanya; bagaimana jargon ‘Rahmatan lil ‘Alamin’ bisa dijalankan bila didalam jiwa para pemimpinnya tidak ada lagi jiwa rahmat, mahabbah, widad, ulfah, dan sifat-sifat Ulama Shodiqin ?.

Karenanya, mengikuti nasehat para sesepuh, kembalikan NU menjadi “Nahdlatul Ulama” ruhan wa jisman (jiwa dan raga) beserta marwah, haibah dan keluhurannya. Jangan perbaharui (tajdid) atau ubah jam’iyyah NU atas nama “menghadapi tantangan baru dan khidmat millenial”, karena landasan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) tetap sesuai dengan tantangan jaman hingga akhir jaman. Dan Muktamar Luar Biasa (MLB) NU adalah satu-satunya mekanisme untuk menghentikan kerusakan yang meluas.

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here