Rubella dan Polemik Vaksin Mengandung Babi

ilustrasi.
ilustrasi.
top banner

Jakarta, Nawacita — Badannya kurus dengan rambut lurus sebahu. Di pangkuan ibunya, gadis itu terdiam sambil sesekali tersenyum malu.

Namanya Syakila. Usianya delapan tahun, namun tingkahnya masih terlihat seperti anak lima tahun. Jalannya pun masih harus dituntun.

Syakila tumbuh tak seperti anak seusianya sejak terkena penyakit rubella. Ia mengalami gangguan pendengaran, jantung, hingga penglihatan.

Sang ibu, Nursiah, mengaku tertular virus rubella sejak masih mengandung Syakila. Perempuan asal Aceh ini awalnya mengira terkena campak karena mendapati bintik merah di kulitnya.

Dokter kala itu tak memberikan obat apapun karena Nursiah tengah hamil.

“Saya rutin periksa ke dokter kandungan, tapi katanya tidak ada apa-apa,” ujar Nursiah menceritakan pengalamannya saat berada di Jakarta beberapa waktu lalu.

Syakila akhirnya lahir dengan proses sesar dan sempat dirawat di ruang Intensive Care Unit(ICU) selama 10 hari.

Siapa sangka, tumbuh kembang Syakila terbilang lambat. Nursiah memeriksakan anaknya ke rumah sakit di Kota Medan.

Dokter menyatakan, Syakila mengalami gangguan pendengaran, katarak, dan ADHD atau gangguan hiperaktivitas yang berpotensi autis.

Sambil terisak, Nursiah menceritakan banyaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan Syakila selama ini.

Bahkan ia mesti bolak-balik dari Lhokseumawe ke Banda Aceh dengan waktu tempuh enam jam demi menjalani pengobatan anaknya.

Memahami Rubella

Kasus Nursiah hanya sekeping gambaran dari sekian banyak orang tua di Indonesia yang memiliki anak dengan penyakit rubella.

Minimnya pengetahuan dan kesadaran pencegahan penyakit rubella membuat sejumlah orang tua menolak imunisasi vaksin campak dan rubella atau yang dikenal Measles Rubella (MR) bagi anaknya.

Pemberian vaksin MR menuai polemik sejak muncul penolakan terhadap pencanangan program imunisasi yang dijalankan pemerintah pada 2017.

Vaksin MR dinilai haram karena mengandung babi. Terlebih, sejumlah tokoh agama di beberapa daerah secara tegas melarang pemberian vaksin tersebut.

Namun, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berkukuh menjalankan program imunisasi MR mengingat bahaya rubella yang dapat menyebabkan kecacatan hingga kematian. Itu semua hanya dapat dicegah melalui imunisasi.

Organisasi Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (WHO-SEARO) mengategorikan rubella sebagai penyakit akut yang sering menginfeksi anak-anak dan dewasa muda dalam kondisi rentan. Sepanjang 2010 sampai 2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus campak dan 30.463 kasus rubella di Indonesia.

Berbeda dengan campak yang ditandai dengan demam tinggi dan bercak kemerahan pada kulit atau rash, rubella tak memiliki gejala yang spesifik. Namun, keduanya sama-sama disebabkan infeksi virus melalui saluran pernapasan.

Pada ibu hamil, rubella dapat menyebabkan keguguran hingga kecacatan serius pada anak yang disebut Congenital Rubella Syndrome (CRS) yang meliputi kelainan jantung, jaringan otak, katarak, tuli, hingga perkembangan yang lambat.

Penyakit ini disebabkan togavirus jenis rubivirus dan termasuk golongan virus RNA atau sejenis dengan virus influenza dan HIV/AIDS. Virus rubella ini cepat mati oleh sinar ultraviolet, bahan kimia, bahan asam, dan pemanasan. Namun yang membuat berbahaya, virus ini dapat melalui sawar (penghalang) plasenta hingga menginfeksi janin dan mengakibatkan CRS.

Gejala yang paling terlihat adalah demam ringan dengan suhu 37,2 derajat celcius dan bercak merah disertai pembesaran kelenjar limfa di belakang telinga, leher belakang, dan suboccipital atau bagian dekat tengkuk.

Rubella ditularkan melalui saluran pernapasan saat batuk atau bersin dan dapat berkembang di langit-langit rongga mulut dengan masa penularan tujuh hari sebelum, hingga tujuh hari setelah rash.

“Rubella ini gejalanya sangat minim. Kita tidak tahu seorang anak kena rubella, tapi dampaknya sangat luar biasa,” ujar Menteri Kesehatan Nina Faried Moeloek di Jakarta, Rabu (19/9).

Pada anak-anak, rubella sering kali hanya menimbulkan gejala demam ringan atau bahkan tanpa gejala sama sekali. Berbeda pada wanita dewasa yang menimbulkan gejala arthritis atau peradangan sendi dan pada wanita yang tengah hamil trimester satu hingga berujung keguguran atau lahir dengan CRS.

Pada tahun 1996 diperkirakan ada sekitar 22 ribu anak lahir dengan CRS di regio Afrika, 46 ribu di regio Asia Tenggara, dan 12.634 di regio Pasifik Barat.

Sementara di Indonesia, tercatat 2.767 CRS yang 70 persen di antaranya terjadi pada kelompok usia di bawah 15 tahun pada tahun 2013.

WHO telah menargetkan penyakit campak dan rubella dapat dieliminasi pada 2020. Bahkan sejak 2011, WHO telah merekomendasikan semua negara yang belum memasukkan vaksin rubella untuk mengampanyekan pemberian vaksin itu. Negara Asia Tenggara lain seperti Kamboja dan Vietnam juga sudah lebih dulu memberikan vaksin MR bagi warganya.

Salah satu strategi yang dijalankan adalah melalui The Global Measles & Rubella Strategic Plan 2012-2020, yakni dengan memberikan dua dosis vaksin yang mengandung campak dan rubella melalui imunisasi rutin.

Indonesia mulai gencar melaksanakan kampanye vaksin MR yang ditujukan bagi anak usia sembilan bulan hingga 15 tahun secara bertahap sejak 2017.

Pemberian vaksin MR dilakukan pada dua fase, yakni fase satu pada bulan Agustus-September 2017 di Pulau Jawa. Kemudian fase dua pada bulan Agustus-September 2018 di seluruh Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Penolakan Publik

Belakangan kemudian muncul kekhawatiran orang tua terkait pemberian imunisasi MR. Selain soal kehalalan, muncul juga isu vaksin itu dapat menyebabkan autis hingga konspirasi Yahudi. Pada isu yang terakhir, ada pihak yang menyebut vaksin itu dibuat oleh kaum Yahudi dan negara barat untuk melemahkan umat Islam.

Berbagai penolakan itu muncul di sejumlah pemberitaan. Salah satunya di Balikpapan, Kalimantan Timur. Terdapat orang tua yang tak mengizinkan anaknya diberi vaksin MR di sekolah. Alasannya karena vaksin MR saat itu belum mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Program imunisasi serupa sebenarnya pernah dijalankan di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pemerintah pada 1980 menjalankan program imunisasi BCG, DPT, campak, hingga polio.

Pemberian imunisasi itu bahkan ‘digalakkan’ dengan penyelenggaran Pekan Imunisasi Nasional (PIN) pada 1995, 1996, 1997.

Tak ada kontroversi haram halal terkait kandungan vaksin yang diberikan saat itu. Program ini terbilang sukses, bahkan pada 1995 Indonesia telah dinyatakan bebas polio, meski pada 2005 kasus ini kembali terulang di Sukabumi, Jawa Barat.

Setelah diusut, rupanya masih ada anak-anak yang belum memperoleh vaksin polio. Pemerintah kembali melakukan imunisasi polio. Pro kontra yang cukup marak saat itu adalah keluhan anak-anak yang mengalami demam, muntah, hingga meninggal dunia usai divaksin.

Belakangan, polemik halal haram juga muncul dalam pemberian vaksin polio. MUI akhirnya mengeluarkan fatwa yang membolehkan pemberian vaksin suntik Inactived Polio Vaccine (IPV) dan vaksin tetes Oral Polio Vaccine (OPV), sepanjang belum ada vaksin jenis lain yang lebih halal.

Vaksin MR di Indonesia sendiri berasal dari produksi Serum Institute of India (SII) yang diimpor melalui PT Bio Farma –produsen dan penyedia vaksin di Indonesia. Dari hasil penelitian, proses produksinya memang menggunakan bahan dari babi.

Sekretaris Bio Farma Bambang Heriyanto menyatakan, SII merupakan satu-satunya pemasok vaksin MR yang memenuhi kualifikasi WHO. Selain India, China juga memproduksi vaksin MR.

Hanya saja produksi vaksin di negeri tirai bambu itu belum terkualifikasi WHO. Sedangkan Jepang juga telah memproduksi vaksin MR namun dengan jumlah yang masih terbatas.

“Vaksin MR dari India itu sudah diekspor ke 141 negara termasuk 26 negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam, di antaranya Malaysia, Turki, Mesir, dan Aljazair,” katanya.

Dalam praktiknya, imunisasi MR menyasar anak-anak di sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), TK, SD, SDLB, SMP, SMPLB, dan pos-pos pelayanan imunisasi seperti Posyandu, Puskesmas, Rumah Sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lain.

Pembiayaannya terbilang besar, yakni bersumber dari APBN (Dana Alokasi Khusus/Bantuan Operasional Kesehatan) sebesar Rp399 miliar dan sisanya dari APBD serta dana hibah Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI).

Meski diklaim sebagai vaksin yang sangat aman, penyedia layanan kesehatan juga mesti mengantisipasi munculnya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Keluhan yang umumnya terjadi setelah divaksin adalah nyeri, bengkak, demam, hingga kejang. Namun hingga saat ini belum ada informasi terbaru vaksin MR dengan KIPI.

Menkes Nila menuturkan, pelaksanaan imunisasi MR di luar Pulau Jawa hingga saat ini masih terus digenjot. Sebab, sejak Agustus hingga 17 September lalu, cakupan imunisasi vaksin MR di luar Pulau Jawa baru mencapai 49,07 persen. Padahal Kemenkes menargetkan cakupan imunisasi bisa 95 persen hingga akhir September ini.

Sejumlah provinsi yang tercatat rendah yakni Aceh 7,08 persen, Riau 23,04 persen, Sumatera Barat 24,61 persen, NTB 29,37 persen, Bangka Belitung 33,75 persen, Kalimantan Selatan 33 persen, Sumatera Utara 35,32 persen, Kepulauan Riau 39,87 persen, dan Kalimantan Timur 44,18 persen.

“Harapan kami seperti tahun lalu di Pulau Jawa bisa turun kasus ini, karena kalau tidak biayanya akan lebih mahal. Berapa untuk operasi segala macam rubella ini, sehingga bagaimana pun harus dicegah,” tutur Nila.

Berdasarkan data dari Kemenkes, cakupan imunisasi di Pulau Jawa selama Agustus – September 2017 telah mencapai 100,98 persen. Tingginya cakupan imunisasi ini diklaim berdampak positif pada penurunan kasus campak dan rubella di Pulau Jawa.

Pada Januari hingga Juli 2017, Kemenkes mencatat ada 8.099 yang terkena campak rubella dengan rincian 2.355 positif campak dan 1.549 positif rubella. Pasca-imunisasi, laporan kasus turun menjadi 1.045 terkena campak rubella.

Untuk mencapai target pelaksanaan imunisasi MR tahun ini, Kemenkes tengah mempertimbangkan kemungkinan memperpanjang masa pemberian vaksin demi mencapai target.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono mengatakan, bakal berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebelum memperpanjang masa imunisasi MR. Ia memperkirakan butuh waktu dua minggu hingga satu bulan untuk memperpanjang masa pemberian vaksin.

“Ada pertimbangan health immunity, jadi tidak bisa diperpanjang seenaknya karena vaksin ini kan ada masanya. Begitu disuntikkan, kekebalan seperti apa yang terjadi itu yang harus dijaga,” katanya.

Fatwa MUI

Bagaimanapun polemik penolakan vaksin MR telah bergulir. MUI sampai harus mengeluarkan fatwa nomor 33 tahun 2018 yang isinya membolehkan pemberian imunisasi MR meski haram.

Fatwa tersebut diterbitkan MUI dengan alasan karena ada kondisi keterpaksaaan, belum ditemukan vaksin yang halal dan suci, dan dari keterangan ahli akan menimbulkan bahaya jika tidak diimunisasi.

MUI sebenarnya telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan pemberian imunisasi pada 2016. Hanya saja fatwa itu tak spesifik menyebut kehalalan vaksin jenis tertentu.

Sementara munculnya fatwa tentang vaksin MR ini baru dimulai dari pertemuan Kemenkes dengan MUI pada 3 Agustus lalu di kantor pusat MUI, Jakarta. Pertemuan itu kemudian ditindaklanjuti dengan permohonan fatwa secara resmi oleh Kemenkes pada 6 Agustus 2018.

Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin sempat menyinggung lambannya permohonan fatwa dari Kemenkes. Padahal pelaksanaan imunisasi MR telah dilakukan sejak 2017, namun Kemenkes baru memintanya pada Agustus 2018 setelah ramai soal isu kehalalan di masyarakat.

“Dua tahun sejak 2016 itu memang tidak ada fatwa soal kehalalan, sehingga masyarakat bingung vaksinnya halal atau tidak. Sedangkan MUI tidak bisa memberi fatwa karena belum ada proses,” ucapnya.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Soleh ketika itu langsung meminta dokumen-dokumen dari Kemenkes untuk kepentingan pemeriksaan.

Dokumen itu baru dapat dilengkapi pada 14 Agustus 2018 dan langsung diperiksa oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Hasil pemeriksaan itu selesai sehari setelahnya dan langsung dirapatkan oleh komisi fatwa MUI.

Akhirnya pada 20 Agustus 2018, MUI memutuskan mengeluarkan fatwa yang membolehkan pemberian vaksin MR karena kondisi darurat.

“Setelah itu kita sosialisasi bersama. Kita harap cakupan imunisasi MR setelah ada fatwa ini bisa optimal sehingga terwujud public health,” katanya.

Alih-alih berjalan mulus, terbitnya fatwa ini rupanya masih mendapat penolakan dari masyarakat di sejumlah daerah. Tokoh agama dan MUI daerah bahkan tak satu suara dengan MUI pusat.

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh juga sempat melarang pemberian vaksin tersebut, meski belakangan mereka sependapat dengan MUI yang membolehkan pemberian vaksin MR pada anak-anak.

Ma’ruf telah menyatakan bakal mengajak diskusi MUI di daerah-daerah untuk membahas persoalan vaksin MR. Ia menegaskan bahwa vaksin MR dibolehkan, bahkan wajib, karena dapat menimbulkan bahaya jika tidak diberikan.

Mencari Vaksin Halal

Pihak Bio Farma saat ini tengah menargetkan produksi vaksin halal untuk MR pada 2024. Direktur Utama Bio Farma Rahman Roestan menyatakan, para peneliti telah melakukan riset untuk membuat material vaksin yang lebih meyakinkan.

“Tahun 2024 nanti sudah harus menemukan imunisasi MR halal,” tuturnya.

Namun, proses ini diakuinya tak mudah. Rahman mengatakan, perlu waktu 10 hingga 15 tahun untuk melakukan riset terhadap penggunaan vaksin itu.

Sebab, satu material vaksin harus melewati tahap uji pra klinis terhadap hewan, kemudian fase bertahap 1, 2, 3 pada manusia, setelah itu baru diregistrasi ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sebelum diedarkan ke publik.

“Sekali lagi ini bertahap, tidak mudah dan tidak bisa cepat karena sangat kompleks,” ucapnya.

cnn

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here